Oleh Pliriwisma

Orang dulu kenyang makan sagu dan keladi.
Orang sekarang masih lapar kalau belum makan nasi.

Makanan tak sekadar kudapan penghilang rasa lapar. Di berbagai tradisi, makanan memiliki beragam makna, mulai dari identitas budaya yang luhur hingga penanda sebuah peradaban zaman. Aku Pliriwisma, seorang pemuda adat asal Kampung Uma Saureinu, Kecamatan Sipora Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Di awal tulisan, sudah kusebutkan tiga dari beberapa hasil pangan lokal khas kampungku. Ya, sejak dahulu, Mentawai yang terletak di antara 0°55’00 hingga 3°21’00 Lintang Selatan dan 98°35’00 hingga 100°32’00 Bujur Timur, dianugerahi tanah subur dan perilaku Masyarakat Adat yang selaras dengan alam.

Tapi, sebelum lanjut bercerita tentang alam dan pangan, dengan senang hati akan aku jelaskan lokasi kampungku terlebih dahulu agar kamu yang belum pernah ke sini punya sedikit gambaran. Kampung Saureinu adalah salah satu dari wilayah adat dari Masyarakat Adat di Kepulauan Mentawai. Kamu harus menyiapkan waktu dan tenaga yang cukup untuk menyambangi kampungku.

Perjalanan ke kampung kami bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua melalui Jalur Trans Mentawai setelah menempuh perjalanan laut dari Kota Padang. Jika kamu berangkat dengan kendaraan bermotor dari Tuapejat, ibu kota Kabupaten Kepulauan Mentawai, maka kamu masih harus tancap gas sekira 37 km lagi.

Kamu lebih beruntung jika datang dari Sioban, ibu kota Kecamatan Sipora Selatan, yang jaraknya hanya 10 km menuju kampungku. Oh, ya, meski Mentawai bernaung di bawah Provinsi Sumatera Barat, tapi jangan kira jarak kota Padang ke kampungku dekat. Untuk sampai ke sini, kamu harus tabah menempuh 153 km lewat jalur laut.

Secara historis, sebelum Pemerintah Indonesia resmi dibentuk, kampungku akrab dengan nama Siureiakenen, artinya “orang baru menikah datang memasuki polak uma atau wilayah adat” sebelum sekarang dikenal dengan Saureinu.  

Kini, Saureinu masuk dalam wilayah administratif Sumatera Barat bersama dengan desa-desa lainnya, seperti Desa Goissoinan, Desa Matobe, Desa Tuapejat, Desa Sipora Jaya, dan Desa Bukit Pamewa. Wilayah adat kami di Saureinu terdiri dari tujuh dusun, yakni Dusun Bulsat, Dusun Bailo, Dusun Sawahan, Dusun Kaliou, Dusun Sikirene, Dusun Mangali, dan Dusun Sumber Air. Pada 2018, Desa Saureinu dihuni 398 rumah tangga dengan populasi 1.449 jiwa (731 laki-laki dan 728 perempuan).

Setiba di Desa Saureinu, kamu akan disambut dengan banyak rumah tradisional Masyarakat Adat Mentawai. Bentuknya seperti rumah panggung yang memanjang. Ya, aku pun tinggal di salah satu uma di sini. Kamu boleh melipir sejenak untuk melepas lelah akibat perjalanan panjang. Sementara aku ambilkan minum, kamu bisa menikmati hangatnya lantai kayu dan semilir angin sepoi-sepoi dari beranda uma.

Suhu di Mentawai yang hampir selalu di angka 27° celsius - 29° celsius makin terasa sejuk dengan piranti rumahku yang terbuat dari bahan alami. Lantai dan dinding terbuat dari kayu asli, sementara daun sagu yang tersusun rapi telah dijadikan atap yang tahan hujan dan panas. Seperti bentuknya yang memanjang, sejarah uma pun tak kalah panjang.

Tradisi mendirikan uma sudah dilakoni dua leluhur kami, Pajolaik dan Takket Keliu, sejak ratusan tahun lalu. Mereka berasal dari Siberut, Katengan Oinan atau perkampungan yang terletak di antara tirik (hulu) dan mongan (muara) dekat aliran Sungai Siberut. Bagi para leluhur kami, Sungai Siberut tak sekadar aliran air, melainkan sumber alam yang menopang tumbuh suburnya beragam bahan pangan di dalam hutan untuk penghidupan.

Selain sebagai sumber penghidupan bagi manusia, Sungai Siberut sejak dahulu juga menjadi rumah bagi keragaman hayati flora dan fauna, seperti bokkoi (Macaca pegensis), joja atau lutung endemik di Kepulauan Mentawai (Presbytis potenziani siberu), bilou (Hylobates klosii), dan simakobu (Nasalis conclolor siberu). Jadi, manusia, flora, serta fauna berbagi ruang dan hidup harmoni di sepanjang aliran Sungai Siberut.

Potensi alam yang berlimpah membuat leluhur kami terus mengeksplorasi Sungai Siberut. Para leluhur kami dulu mengembara dan singgah di Usut Ngaik atau sekarang dikenal Desa Matobe, persis di sebelah kiri muara sungai. Kala singgah itu, leluhur menanam pohon sipeu yang dibawa serta dari Siberut untuk menandai wilayah kepemilikan lahan. Setelahnya, mereka kembali berjalan ke hulu dan mulai membangun pondok di Goibok yang saat ini berada di seberang Sungai Mangili, Dusun Kaliou. 

Aktivitas pemetaan wilayah adat.

Sejak itulah, uma mulai dikenal. Proses pembuatannya menerapkan sistem gotong-royong. Bermodal kayu asli dan daun sagu segar, uma pun berdiri kokoh dan mampu menampung lima hingga sepuluh keluarga. Tanpa paku, semen, dan kawat. Semua bahan diambil secukupnya dari hutan.

Jauh sebelum Negeri Sakura menemukan alat pendeteksi gempa, para leluhur kami telah membuatnya dengan cara sederhana di tiap uma. Pasak kayu sengaja dibenamkan ke dalam tanah sedalam dua meter. Ketika gempa datang, maka pasak itu akan bergoyang dan kami yang tinggal di dalam uma akan bersiap siaga.