Oleh Pauzan Azima

Pringgasela, nama sebuah kecamatan yang cukup dikenal di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Pringgasela dikenal sebagai pusat tenun tradisional Masyarakat Adat Sasak yang unik. Motif-motif tenun di wilayah ini mencerminkan perpaduan budaya dan agama, khususnya ajaran Islam.

Budayawan Lombok Timur, Sareh Erwin menerangkan kain tenun Pringgasela telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Masyarakat Adat Sasak sejak zaman nenek moyang. Tak hanya sebagai warisan budaya, sebutnya, motif-motif pada kain tenun ini juga mengandung makna filosofis yang mendalam, mencerminkan kepercayaan dan nilai-nilai spiritual Masyarakat Adat setempat.

“Tenun Pringgasela tidak hanya berfungsi sebagai kain biasa, melainkan juga sebagai simbol jiwa dan kehidupan,” ungkap Sareh Erwin, yang keseharian bekerja sebagai pelaku wisata Pringgasela.

Sareh menjelaskan motif yang terdapat pada kain tenun Pringgasela mengandung tiga aspek utama kehidupan manusia: lahir, hidup dan mati.

Ia menuturkan untuk tahap kelahiran, motif Sabok Beranak dan Sabok Besunat menjadi simbol yang penting. Biasanya kain tenun motif ini digunakan untuk ibu hamil, ibu yang baru melahirkan, serta pada anak yang menjalani prosesi khitanan. Proses pembuatannya juga harus dilakukan oleh perempuan yang sudah dewasa secara mental dan fisik, serta telah melewati masa sucinya.

Sareh mencontohkan dalam khitanan, stagen (sabuk) ini dikalungkan kepada anak yang akan disunat, dan setelah proses khitanan selesai, kain tenun tersebut diputus dan diubah menjadi selendang yang diselimutkan ke tubuh anak.

Sareh menambahkan selain kelahiran, ada pula kain tenun yang bermotif menyiratkan kehidupan, seperti Sabok Bekuris yang digunakan pada bayi saat acara aqiqah.

“Motif tenun ini dipakai ketika pertama kali bayi diberikan nama,” terangnya.

Sareh menyebut ada juga kain tenun motif Bidadari Ngamok, biasanya digunakan untuk anak perempuan yang dianggap memiliki sifat tidak baik seperti membangkang ke orang tua dan suka marah,  Dikatakannya, motif tenun ini diberikan ke anak perempuan untuk membimbing mereka menjadi lebih baik.  Kemudian, ada motif lain yaitu Pucuk Rebong,  yang menggambarkan semangat positif, diambil dari analogi tumbuhan bambu.

Sementara untuk aspek kematian, sebutnya, kain tenun memiliki peran yang sakral. Sebagai contoh, Sareh menyebut motif Reragian Bebasak, yang digunakan sebagai kain kafan.

“Hasil tenun yang satu ini menggambarkan kain terakhir yang dipakai oleh manusia di bumi,” ujarnya.

Sareh menambahkan selain itu ada motif tenun Reragian Lelangit yang ditempatkan di atas jenazah saat prosesi pemakaman.  Dikatakannya, Masyarakat Adat di Pringgasela memiliki ideologis yang magis terkait motif tenun yang satu ini, yakni tidak boleh di bawah.

“Hasil tenun motif Reragian Lelangit ini harus diletakkan menggantung di atas, yang mengisyarakat langit atau atap dunia,” terangnya.

Raisah, salah seorang penenun di Pringgasela mengatakan pada kain tenun yang mengandung aspek kematian,  ada juga motif tenun yang disebut Reragian Osap yang digunakan sebagai penutup wajah jenazah, juga sebagai penutup kitab suci.

“Motif ini sangat disucikan oleh Masyarakat Adat di Pringgasela,” ungkap Raisah.

Motif tenun Reragian Osap ini, sebutnya, memiliki motif khas yakni dasar warnanya putih, lalu didampingi dengan warna merah dan biru.

Raisah menambahkan yang terakhir ada namanya kain tenun motif Sekurdi. Motif ini digunakan sebagai penutup jenazah sebelum diantar ke pekuburan.

Menjaga Warisan Leluhur

Dalam upaya melestarikan tradisi, Masyarakat Adat di Pringgasela melibatkan anak-anak sejak dini dalam proses menenun. Orang tua menyediakan duplikat gedogan (alat tenun tradisional) yang dibuat dari bahan sederhana seperti daun kelapa dan benang sisa. Dengan begitu, anak-anak bisa belajar menenun sejak usia lima hingga tujuh tahun.

“Mendidik anak sejak dini dalam seni tenun adalah cara kami menjaga warisan leluhur,” ungkapnya.

Raisah menuturkan setiap rumah di Pringgasela memiliki alat tenun dan hampir semua perempuan di tempat ini menenun. Disebutnya, benang yang digunakan dalam proses tenun berasal dari bahan alami, seperti kapas dan serat tumbuhan rayon. Sementara pewarna yang dipakai diambil dari alam, termasuk kulit kayu yang menghasilkan warna-warna alami yang khas.

“Ini semua bagian dari proses pewarisan budaya. Masyarakat Adat di Pringgasela berupaya menjaga agar tradisi tenun tetap hidup dan berkembang di tengah modernisasi,” pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Nusa Tenggara Barat