Oleh Muhammad Ikbal Bahrin

Kuntu adalah sebuah kampung adat yang terletak di Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Kampung ini termasuk desa tertua di Riau. Banyak sejarah yang muncul dari daerah yang sangat strategis ini.

Menurut buku “Sejarah Riau” yang disusun oleh tim penulis dari Universitas Riau , Kuntu adalah daerah pertama di Riau yang berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari Cina, India, dan negeri Arab Persia. Kuntu juga daerah pertama yang memainkan peranan dalam sejarah Riau, karena daerah lembah sungai Kampar Kiri adalah daerah penghasil lada terpenting di seluruh dunia dalam periode antara 500-1400 Masehi.

Pada masa ini, Kuntu dikenal sebagai daerah yang subur dan berperan sebagai gudang penyedia bahan baku lada, rempah-rempah dan hasil hutan di dunia. Pelabuhan ekspornya adalah Samudra Pasai, dengan pasar besarnya di Gujarat. Kuntu juga adalah wilayah yang strategis sebab lokasinya sangat terbuka ke Selat Melaka, tanpa dirintangi pegunungan.

Pada zaman masa penjajahan, kampung adat Kuntu pernah mau diduduki oleh sekelompok tentara Belanda. Namun dihalangi oleh pasukan Atok Bolang.

Atuk Bolang adalah sebutan Masyarakat Adat Kuntu untuk harimau. Atuk Bolang dipercaya sebagai penjaga kampung adat Kuntu. Suatu ketika, kawanan Atuk Bolang pernah menghalangi tentara Belanda untuk masuk ke kampung Kuntu pada zaman penjajahan.

Amir Khan, salah seorang tokoh Masyarakat Adat Kuntu menjelaskan dari peristiwa yang terjadi saat itu, Atuk Bolang kemudian dipercaya sebagai penjaga kampung halaman mereka yang tidak boleh sembarang menyebut namanya. Amir menyatakan jika masyarakat ada melihat atau mendengar auman satwa langka ini maka dipercaya kampung adat Kuntu sedang tidak baik baik saja.

"Jika ada yang melihat Atuk Bolang (harimau), berarti kampung sedang ada masalah,” kata Amir Khan sembari menambahkan biasanya Atuk Bolang sering menampakkan dirinya jika ada perceraian di kampung.

"Hewan lebih peka akan musibah yang datang dibandingkan manusia,” sambungnya.

Legenda bagi Masyarakat Adat Kuntu

Muh Salman, tokoh Masyarakat Adat Kuntu lainnya berpendapat bahwa Atuk Bolang bukan semata dikenal sebagai binatang buas di Kuntu. Bagi Masyarakat Adat Kuntu, sebutnya, Atuk Bolang memiliki pemaknaan khusus dibanding satwa lain.

“Untuk penyebutannya, Masyarakat Adat Kuntu memanggilnya Atuk Bolang (Datuk Belang),” katanya.

Salman menerangkan Atuk Bolang telah menjadi legenda bagi Masyarakat Adat Kuntu. Bahkan, cerita Atuk Bolang ini juga sangat melegenda di tanah dataran Sumatera. Namun, setiap wilayah punya sebutan yang berbeda untuk satwa dilindungi ini. Di Aceh sebutannya Rimueng, Tanah Minang disebut Datuak, Bengkalis dipanggil Inyiek, Kerinci disebut kucing loreng, Medan disapa Ompung. Sementara, di Kuntu dipanggil Atuk Bolang.

Konon kabar, kata Salman, dulunya di Kuntu telah terjalin hubungan erat antara manusia dan harimau hingga sang raja hutan ini berjanji akan menjaga keturunan manusia turun temurun. Sangkin dihormatinya ada aturan tidak tertulis yang diterapkan saat masyarakat memasuki hutan dilarang menyebut kata “Harimau”.

Salman menuturkan secara tradisi, Atuk Bolang diyakini memiliki perasaan dan kepekaan yang baik serta mengerti salah dan benar.

“Keyakinan Masyarakat Adat Kuntu ini sudah turun temurun dan menyimpan arti bahwa Atuk Bolang sebagai hewan yang dihormati sekaligus juga sebagai penjaga kampung,” terangnya.

Salman mengatakan Atuk Bolang kadang mengisyaratkan keberadaan dirinya, dengan meninggalkan jejak telapak kakinya atau bekas cakaran pada tempat-tempat tertentu agar manusia tidak bertemu dirinya. Tidak hanya dihutan, terkadang juga di ladang atau di saat musim durian misalnya, ada buah durian yang didapati warga dalam kondisi terbelah rapi tanpa terpisah dengan tampuknya menandai keberadaan Atuk Bolang ada disekitar situ.

“Jika Atuk Bolang kedapatan turun ke pemukiman warga, hal itu mengindikasikan ada larangan atau hukum adat yang dilanggar oleh seseorang di kampung itu,” terang Salman.

Dikatakannya, Atuk Bolang habitatnya di hutan adat Kuntu, hingga kini terus hidup berdampingan dengan masyarakat adat sekitar. Namun sangat disayangkan, sebut Salman, keberadaan Atuk Bolang kini mulai terusik dikarenakan pembabatan hutan secara meluas untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.

“Kita minta stop pembabatan hutan. Lindungi Atuk Bolang dari kepunahan sebab hingga hari ini keberadaan Atuk Bolang masih bagian dari sejarah perjalanan hidup Masyarakat Adat Kuntu,” katanya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Kampar, Riau