Oleh Pliriwisma

Bagi kami orang Bumi Sikerei, hutan tak hanya penyumbang oksigen melainkan lokapasar yang menyediakan segala kebutuhan pangan. Sebut saja gobi (ubi jalar), palapa (talas), sikobou (keladi merah), dan jalangjang (keladi batang besar). Semuanya tumbuh subur di sini.

Selain itu, ada  jenis keladi lainnya, seperti laiket, diuji serta banyak varian lainnya yang tak dapat kualih-bahasakan penyebutannya ke dalam bahasa Indonesia. Kalau kamu bertanya apa makanan khas kami, jawabannya berbagai jenis keladi dan sagu. Komoditas yang tak kalah berlimpah lainnya, adalah cengkeh, pisang, kakao, pala, durian, bambu, dan kopra.

Meskipun hasil bumi kami beragam, ada satu jenis tanaman yang mengubah cara makan orang Mentawai: padi. Perubahan itu tentu tidak terjadi secara serta merta. Perubahan terjadi akibat dari program pemerintah yang diterapkan melalui para transmigran yang datang untuk menggarap sawah serta proyek desa. Sejak itu, sagu dan keladi diganti dengan nasi.

Lahirlah ujaran: “Orang dulu kenyang makan sagu dan keladi, orang sekarang masih lapar kalau belum makan nasi.”

Tapi, mari kita lupakan sejenak hasrat makan nasi. Jika perutmu mulai lapar dan punya nyali, kamu bisa mencicip toek atau cacing muara yang hidup di sela-sela batang pohon tumbang. Rasanya gurih dan lembut. Kalau kamu rasa itu terlalu ekstrem, maka pilihan lainnya adalah ulat sagu yang sarat gizi. Teksturnya lembut dan kenyal. Ikan rawa gambut juga tak kalah menggoda untuk dijadikan santapan makan siang. Rasanya gurih dan segar. 

Toek dari Saureinu.

Dari perjalanan menyusuri hutan, kamu bisa merasakan sendiri bagaimana hutan telah menjamin segala yang kami butuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Dari rumah, makanan, air, udara bersih, hingga hasil pangan lokal yang menjadi  mata pencaharian utama kami. Dari segi profesi, orang-orang di kampungku mayoritas bekerja di sektor informal. Kami mencari penghidupan dengan menjadi nelayan atau  petani. Otomatis, perekonomian kami sangat bergantung pada kondisi laut dan hutan. Karena itu, kami sangat menjaga hutan adat agar tetap lestari.

Dalam pengelolaannya, hutan adat seluas 5.686,86 hektar yang dimiliki 13 suku dan dikelola di bawah Lembaga Adat Desa Saureinu. Akses atau pemakaian dibatasi oleh aturan adat. Keluarga yang tidak memiliki lahan secara langsung menunjukkan bahwa orang tersebut tidak memiliki suku dan dapat dikatakan bukan (keturunan) orang Mentawai. Namun, keluarga tersebut dapat memperoleh hibah dari suku.

Pewarisan dan pengelolaan tanah ditentukan sesuai dengan garis keturunan ayah atau kaum laki-laki (patrilineal), kecuali untuk pengelolaan lahan rawa yang diperuntukkan kaum perempuan, namun sebatas hak pakai. Lahan rawa diolah khusus menjadi ladang keladi. 

Mendapatkan hak untuk mengelola hutan adat, bukan hal yang mudah bagi kami. Perlu perjuangan dan bantuan berbagai pihak agar kami sebagai pemilik sah hutan adat tak lagi sekadar memiliki, tetapi juga punya mandat untuk menjaga lingkungan dari tangan-tangan serakah. Kami punya sederet memori kelam tentang hal itu.

Cerita dimulai pada 1792 ketika bangsa Inggris yang dipimpin John Crisp, pegawai EIC (East India Company) atau Kongsi Dagang Hindia Timur Britania, dikirim ke Pulau Pagai untuk melihat potensi alam Mentawai. Pada masa itu, Mentawai terkenal akan kayunya, gaharu, rotan, dan rempah-rempah. Sebelum menggenapi niat buruknya mengeksploitasi Mentawai, Inggris yang kala itu telah menyepakati Traktat London harus keluar dari Sumatera. Tak lama kemudian, orang-orang Belanda pun masuk dengan niat yang sama: mengeksploitasi hutan.

Satu sejarah yang tak akan mungkin aku dan Masyarakat Adat Mentawai lupakan, adalah saat Belanda yang dipimpin seorang Letnan Angkatan Laut masuk ke Mentawai. Para leluhur kami sangat marah dan dengan sekuat tenaga akhirnya berhasil mengusir mereka hingga Sang Letnan tewas. Namun, Belanda yang memiliki sejuta muslihat, kembali datang dengan pasukan ke Sipora lengkap dengan persenjataan. Leluhur kami akhirnya kalah dan diduga banyak darah tertumpah. Pada 1864, Belanda mengklaim kemenangan dengan mendirikan kantor perwakilan di Sipora dan mengangkat seorang letnan asal Melayu untuk memimpin.

Di zaman setelah kemerdekaan Indonesia, kisah itu berulang dengan berganti rupa (pelaku). Pada 1970, Pemerintah Indonesia menerbitkan izin kepada satu perusahaan yang termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengelola hutan adat. Hasilnya bisa ditebak, yaitu kerusakan hutan adat yang berdampak buruk pada lingkungan dan secara sosial merusak karena melahirkan konflik yang memicu perpecahan antarsuku akibat monetisasi hutan adat. Pada masa itu, ritual pun dilarang, bahkan peralatan ritual direnggut paksa. Semua penderitaan itu menjadi lengkap ketika hukum adat warisan leluhur kami secara sistemik dihilangkan. 

Beberapa aturan konservasi yang dibuat pemerintah justru menyebabkan kami tidak dapat memasuki hutan adat milik kami sendiri. Semua itu menorehkan luka dan menyebabkan trauma mendalam bagi kami.

Lantas, mengapa hutan adat menjadi incaran?
Mari, kita berhitung! Apabila semua sumber daya alam yang terdiri dari padi sawah, ulat sagu, teok, ikan rawa gambut, kopra, bambu, dan lainnya dikonversi dalam rupiah, maka nilainya berkisar Rp33,54 miliar/tahun. Sementara jasa lingkungan, yang meliputi hidrologi hutan, penyimpanan karbon, potensi pariwisata, dan hutan tebangan, ditaksir bernilai Rp840 juta/tahun. Jika dijumlahkan semuanya, maka total hasilnya adalah Rp34,38 miliar/tahun.

Angka yang fantastis itu merupakan hasil perhitungan valuasi ekonomi wilayah adat kami. Sangat menggiurkan. Jika jumlah itu dibagi dengan jumlah rumah tangga, maka nilainya bisa mencapai sekitar Rp86.380.000/tahun. Itu adalah nilai yang diprediksi karena kami telah mengelolanya secara lestari.

Sungguh kontras jika dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) Mentawai pada 2021 yang berjumlah Rp2.484.041/bulan atau  Rp29.808.492/tahun. Jika keduanya dibandingkan, maka UMR per tahun sekitar sepertiga dari nilai sumber daya alam yang kami miliki.

Meski kerusakan lingkungan dan sendi-sendi sosial di kampung kami telah dihancurkan, kami tidak tinggal diam. Kami menempuh berbagai jalan untuk mendapatkan keadilan. Setelah berjuang beberapa waktu, muncul harapan.

Beberapa pencapaian yang berhasil kami dapatkan, antara lain Pengujian Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 1999 Pasal 1, 2, dan 6 terhadap UUD Tahun 1945 Pasal 18 Huruf I yang pada akhirnya menghasilkan beberapa perubahan. Pertama, terbit Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara.

Sementara di tingkat lokal, terbentuk Aliansi Masyarakat Adat Peduli Mentawai (AMAPM) di tingkat kampung. Selain itu, terbit Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai No. 11 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma Sebagai Kesatuan Masyarakat Adat di Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia tentang Penetapan Hutan Adat Uma Saureinu kepada Masyarakat Adat Uma Saureinu seluas 5.739 hektar.

Hutan adat tersebut meliputi kawasan hutan produksi tetap (HP) yang luasnya 4.648 hektar dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas 1.091 hektar di Desa Saureinu, Kecamatan Sipora Selatan.

Menanam makanan pokok keladi.

Kami mensyukuri segala capaian itu, akan tetapi perjuangan kami belum benar-benar berakhir. Sejak UU Mineral dan Batubara (Minerba) dan UU Cipta Kerja disahkan pada 2020, kami menjadi pihak yang paling rentan. Di mata pemerintah, yang mengukur segalanya dari aspek pembangunan, Masyarakat Adat dianggap tidak punya daya tawar dan sumbangsih ekonomi.

edua UU tersebut ibarat karpet merah yang mempersilakan pengusaha tambang dan perkebunan sawit masuk ke hutan adat dan mengeruk semua SDA di dalamnya. Kondisi dan situasi itu seakan melanjutkan perbudakan yang dilakukan di zaman kolonialisme Belanda. 

Apa yang kami harapkan akan kami peroleh dari pemerintah, kenyataannya justru bertolak belakang.

Perusahaan besar yang digadang-gadang menangguk profit, malah hancur lebur akibat pandemi. Betapa banyak karyawan yang di-PHK dan tertular Covid-19, sementara Masyarakat Adat mampu bertahan hidup di masa sulit, bahkan menunjukkan kasus kematian akibat Covid-19 ada dua orang atau 0,1 persen, terendah se-Provinsi Sumatera Barat. 

Kontrak Sosial dengan Perangkat Desa
Ratusan tahun hidup kental dengan sistem sosial Masyarakat Adat, membuat kami asing dengan sistem sosial yang umum berlaku di kota, seperti perangkat desa dan kepala desa. Lantas apakah hingga kini Desa Saureinu khususnya dan Mentawai umumnya tetap menggunakan sistem sesuai adat sebagai sistem sosial dalam kehidupan sehari-hari? 

Untuk mengetahui lebih jauh tentang sistem sosial di Desa Saureinu pada 1990-2000-an, aku berbincang dengan Nathan Siritoitet, tokoh masyarakat sekaligus kepala desa kedua yang pernah menjabat. Dalam penuturannya, Nathan mengaku sempat merasa kesulitan saat pertama kali menjabat sebagai kepala desa, terutama mengenai pembangunan infrastruktur pembangunan dan operasional kantor desa. 

“Dananya sangat minim. Di sini kami menggunakan uang sepandai-pandainya untuk memenuhi biaya penginapan, transportasi, dan konsumsi dari uang yang diberikan (pemerintah) untuk pembangunan,” ujar Nathan yang diminta menjabat lebih dari dua periode. 

Dengan uang operasional yang minim, Nathan juga harus rela menempuh perjalanan pulang pergi dari desanya ke Pariaman untuk mengambil dana desa setiap minggu. Selain masalah pendanaan dan aksesibilitas, Nathan mengaku bebannya sebagai kepala desa kian berat dengan sikap resisten Masyarakat Adat terhadap dirinya sebagai kepala desa.

“Pada saat saya menjabat, sistem sosial masyarakat kurang mendukung dan menganggap apa yang kami lakukan semata untuk mencukupi biaya hidup kami. Padahal, uang yang diberikan (pemerintah) bukan buat saya, tapi untuk memajukan desa,” sambungnya. 

Nathan memberi contoh, jika ada pembangunan, ia tak pernah mempekerjakan orang dari luar Desa Saureinu. Dia mempekerjakan warga lokal, sehingga uang mengalir ke warga. Baginya, perangkat desa bukan untuk menjadi pekerja, melainkan mengontrol dan memimpin pembangunan karena dirinya sudah digaji oleh pemerintah.

Nathan paham, perlu waktu untuk membangun kepercayaan masyarakat pada sistem sosial yang baru seperti perangkat desa. Setelah menjabat beberapa tahun, Nathan mulai merasa masyarakat mulai terbuka dan antusias mengikuti kegiatan gotong-royong desa.

“Masyarakat cukup patuh mengikuti (gotong-royong) yang empat hari dalam dua bulan sekali. Ini bukan semata kesepakatan dari saya (kepala desa), melainkan masyarakat  sendiri,” tuturnya. 

Sebelum Nathan menjabat, kepala desa pertama masuk dalam Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Lembaga Masyarakat Desa (LMD). Pada masa itu (sekitar 1990-an), LMD setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang menjadi aspirator masyarakat untuk bertindak sebagai pengambil keputusan. Alurnya seperti ini: rapat LKMD (diwakili ketua atau kepala desa) kemudian diteruskan kepada LMD untuk disepakati bersama, lalu disampaikan kepada kepala desa.

Setelahnya, kepala desa menyampaikan hasil musyawarah mufakat ke masing-masing dusun. Hingga kini, kontrak sosial inilah yang digunakan untuk menjembatani komunikasi Masyarakat Adat dan pemerintah. 

Antara Tradisi dan “Agama Baru”
Jauh sebelum misionaris Belanda datang ke Mentawai, kami menganut Arat Sabulungan sebagai agama dan jalan hidup. Dengan keyakinan penuh bahwa posisi kami sebagai manusia setara dengan hutan, tumbuhan, dan satwa yang punya roh dan berjiwa. Menyakiti alam sama halnya dengan melukai diri sendiri. Bagi kami, alam adalah tauladan yang mengajarkan segala aspek kehidupan.

Alam pula yang mengajarkan sikirei atau tabib lokal hingga dia pandai meracik obat dari tanaman. Jauh sebelum pengobatan medis berkembang, tangan dingin sikirei menyembuhkan kami yang sakit. Wajar bahwa bagi kami, sikirei adalah orang terpilih, orang berjasa, dan kami hormati. “Dulu kami meyakini kepercayaan nenek moyang (Arat Sabulungan) dan berobat ke dukun-dukun (sikirei) sampai saya berusia tiga tahun,” katanya. 

Tak hanya melangsungkan ritus, Nathan dan keluarga kala itu juga menaati lelaku Arat Sabulungan, seperti salah satu orang pergi mencari ikan, maka anggota keluarga lainnya harus tetap di rumah agar yang mencari ikan pulang dengan selamat.

Namun, semua itu mulai berubah sejak kedatangan August Lett dan A. Kramer, dua orang yang memulai Zending, sekolah untuk penyiaran agama Kristen Protestan, ke Mentawai pada 1901. Di periode abad “pencerahan” itu, Belanda mulai getol menggenapi misi ketiga dari penjajahan mereka ke Nusantara. Wilayah kami yang belum dimasuki misionaris agama lainnya, menjadi peluang besar untuk membaptis sebanyak-banyaknya. 

Meski agama mengajarkan kedamaian, namun caranya seringkali penuh keributan. Atas nama kebenaran dalam ajarannya, para misionaris membakar peralatan ritual leluhur kami. Keyakinan kami dianggap bertentangan dengan ajaran mereka. Kami pun dilarang melakukan ritual. Sikirei yang dahulu kami hormati, mereka anggap sesat, ditangkap, dipenjara, dan dijadikan budak di perkebunan.

Penggalian sejarah komunitas Masyarakat Adat di Kepulauan Mentawai.

Pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Kami pun berharap menjadi merdeka. Namun, harapan itu pernah pupus. Kami tak pernah lagi benar-benar merasa merdeka. Kami justru mengalami penjajahan gaya baru yang justru lebih kuat. 

Diskriminasi dan kekerasan terhadap kami kian meruncing setelah Perdana Menteri Ali Sastromidjojo mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No. 167/PROMOSI/1954 tentang Pembentukan Panitia Interdepartemen. SK itu menjadi legitimasi untuk memaksa kami memilih satu dari lima agama resmi, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha. SK tersebut kemudian diperbaharui dengan Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 yang memasukkan Khonghucu sebagai satu dari enam agama resmi.

Tak cukup memaksa kami pindah agama, tradisi menato tubuh, meruncingkan gigi, dan memanjangkan rambut juga ditertibkan. Ternyata tak hanya persoalan tampilan tubuh dan makanan, sistem sosial dan ekonomi juga dipaksa berganti. Untuk hal yang paling privat bagi seorang manusia, yaitu agama dan ekspresi tubuh, pun kami tak punya otoritas lagi. 

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat merespon SK itu dengan menggelar Rapat Tiga Agama yang berujung pada penghancuran secara sistemik agama leluhur kami. Maka pada 1954, semua ritual Arat Sabulungan resmi dilarang dan kami dipaksa memilih: Islam atau Kristen. Fakta itu berbeda dengan pernyataan Nathan yang mengatakan, “Di sini, kita Indonesia merdeka, pemerintah kemudian menyarankan kami memiliki agama dan bebas memilih.”

Puluhan tahun setelah peristiwa itu, kini Nathan dan mayoritas Masyarakat Adat Mentawai telah menganut agama resmi, yakni Kristen Protestan (77,59%), Katolik (48,50%), Islam (29,09%), dan lainnya (0,19%). Laku gotong-royong khas Masyarakat Adat Mentawai diakui Nathan masih terjaga hingga kini, hanya beralih dari ritual Arat Sabulungan ke peribadatan di gereja.

“Saat pembangunan gereja semua ikut serta, ada yang memasak dan mengumpulkan makanan,” lanjutnya.

Mungkin sebagian Masyarakat Adat Mentawai telah berdamai dengan kondisi yang ada, mengambil jalan tengah antara iman dan tradisi. Semoga iman kepada Tuhan semakin menguatkan kami untuk menjaga hutan adat aman dari bencana di tengah kondisi semakin sempitnya lahan untuk menanam sagu dan keladi. Itulah kisah kami, Masyarakat Adat di Saureinu. Kami terus bertahan dengan mencoba beradaptasi.