Oleh Apriadi Gunawan

Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar sidang pengujian formil Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) yang digugat oleh  Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), serta perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong, Mikael Ane.

Sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra ini berlangsung pada Senin, 7 Oktober 2024.

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menyatakan bahwa sidang pendahuluan ini bertujuan untuk mengecek dokumen kelengkapan, termasuk mulai dari permohonan. Rukka menambahkan dalam sidang pendahulu ini, pemohon juga menerima masukan perbaikan dari hakim.

“Penekanan (sidang) hari ini tentang uji formil, itu yang diminta oleh Mahkamah Konstitusi untuk dipastikan seluruh dokumennya siap, landasan-landasan hukumnya. Intinya itu,” kata Rukka usai menghadiri sidang perdana uji formil Undang-Undang KSDAHE di Mahkamah Konstitusi pada Senin, 7 Oktober 2024.

Kuasa hukum pemohon, Gregorius Bruno Djako dalam persidangan menyatakan pembentukan Undang-Undang No 32 Tahun 2024 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) tidak bermanfaat, tidak berdaya guna dan tidak memiliki hasil guna, terutama bagi Masyarakat  Adat dan komunitas lokal sebagai subjek hukum dalam pemberlakuan UU 32/2024. Gregorius menambahkan hal tersebut ditandai dengan beberapa permasalahan substantif yang dapat dipastikan akan muncul dan dialami oleh Masyarakat  Adat  atau komunitas lokal yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan konservasi.

Menurutnya, tidak dilibatkannya pihak yang terdampak, serta pihak yang concern terhadap urusan Sumber Daya Alam Hayati Indonesia dan ekosistemnya, menyebabkan UU 32/2024 menjadi tidak mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Gregorius mencontohkan seperti pemahaman ekosistem yang tidak menyentuh pada tingkat subjek hukum yang berkaitan erat dengan ekosistem Sumber Daya Alam Hayati Indonesia in casu Masyarakat Adat dan komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi yang ditetapkan oleh negara.

“Ini justru membuka lebih banyak celah terjadinya potensi kriminalisasi, perampasan hak, diskriminasi dan pengabaian terhadap hak-hak Masyarakat Adat dan komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi,” katanya.

Gregorius menegaskan dari sini menjadi terang benderang dan cukup bukti bahwa telah terjadi kecacatan terhadap pembentukan UU 32/2024 terhadap asas kejelasan tujuan.

Kemudian, Gregorius juga menjelaskan bahwa UU 32/2024 tidak mewujudkan transformasi kebijakan konservasi yang adil, inklusif, berbudaya dan berciri-khas nusantara. Menurutnya, UU 32/2024 semakin menegaskan sentralisasi kewenangan penyelenggara dan abai terhadap pemenuhan hak asasi manusia, terutama Masyarakat  Adat dan komunitas lokal sebagai penerima dampak terbanyak dari implementasi kebijakan konservasi.  Hal ini, sebut Gregorius, berpotensi akan menimbulkan lebih banyak ruang konflik antara masyarakat dengan pemerintah.

Menurut  Gregorius, seharusnya proses pembentukan UU 32/2024 perlu lebih mengakomodasi masukan dari Masyarakat  Adat  yang akan terkena dampak langsung dari pembentukan undang-undang ini. Dengan kata lain, imbuhnya, proses pembentukan Undang-Undang  KSDAHE  harus didasarkan pada praktik dan pengalaman empiris yang dihadapi oleh Masyarakat  Adat.

Hal senada disampaikan Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat  Adat Nusantara (PPMAN) Syamsul Alam Agus, yang juga kuasa hukum pemohon menyatakan bahwa pengujian formil ini diajukan karena proses pembentukan UU KSDAHE dianggap tidak memenuhi sejumlah asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. 

Dalam hal ini, Syamsul Alam menyebut  proses pembentukan UU KSDAHE tidak memenuhi asas kejelasan tujuan karena tidak memberikan kejelasan arah kebijakan dalam Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Selain itu, UU ini juga tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan karena proses penyusunannya tidak melibatkan pemangku kepentingan terkait secara menyeluruh, terutama Masyarakat Adat yang paling terdampak. Asas keterbukaan juga diabaikan karena kurangnya transparansi dalam proses pembentukannya.

Judianto Simanjuntak, kuasa hukum lainnya, menambahkan bahwa koalisi meminta Mahkamah Konstitusi untuk mengeluarkan putusan sela kepada Presiden agar tidak menerbitkan peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden hingga Mahkamah memutuskan perkara tersebut. Hal ini didasari oleh temuan tim advokasi yang menunjukkan adanya sepuluh ketentuan dalam UU KSDAHE yang perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

“Dengan adanya putusan sela, akan ada jaminan kepastian hukum bagi para pemohon yang sedang memperjuangkan hak-haknya,” ungkap Judianto.

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi bersama kuasa hukum pemohon di Mahkamah Konstitusi. Dokumentasi AMAN

Hakim Memberi Masukan kepada Pemohon

Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberi masukan kepada para pemohon agar memperbaiki uraian posita dengan menunjukkan kelemahan proses penyusunan UU 32/2024. Dalam persidangan ini, Arief juga mempertanyakan tentang naskah akademiknya. Menurutnya, itu juga dibahas dalam posita supaya menunjukkan setiap proses ada tahapan-tahapannya.

Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki  permohonannya. Disebutkan, berkas perbaikan permohonan diterima panitera MK paling lambat  21 Oktober 2024.

***

Writer : Apriadi Gunawan | Infokom PB AMAN
Tag : Mahkamah Konstitusi Menguji Proses Pembentukan Undang-Undang Konservasi